Semua akan menceritakan tentang keindahan hidup ini yang kadang terasa pahit, getir, asem mungkin maniz
Rabu, 12 Oktober 2011
Complicated
saat semua mejadi kacau ya semua jadi kacau dengan dengan segala pemikiran manusia seutuhnya.. karena logika yang diTuhankan menjadi satu alasan untuk menutupi semua kesalahan - kesalahan yang besar ataupun kecil .. ya tanpa ada perasaan atau hati semua gue bilang percuma...ya ada yang bilang semuanya akan berjalan seperti biasanya.. sesuai dengan apa yang disepakati.. wah kalo buktinya ga ada ya bikin gerem aja nich kondisi yang seperti ini .. Ya MALAYSIA.... siapa lagi
Selasa, 04 Oktober 2011
Indah Memang "Seni" Menguntit (Part. 1)
Kayaknya enak dech makanan Menguntit..
Gue bercanda dalam hal yang tidak sewajarnya di bicarakan oleh kalangan bawah seperti gue, bukan karena gue merasa rendah diri engga..tapi kalo bicara tentang politik dan korupsi atau nepotisme yang selalu berpelukan dan bergandengan tangan dengan tubuh ini ... terthan rasanya geli banget gitu.. SD gue ga tahu apa itu KKN atau sebangsanya lah .. atau mungkiin bokap gue sendiri ga ngasih tahu kali ya ..coz may be jaman segitu ga ada kata Koruspi .. Bokap gue yang kolot cuma tahu Ngentit, ngutil, Nilep, nyempitke, ngasak lah ... mungkin podo wae...dari berbagai sudut pandang mungkin tetep aja salah ..begitu SMP.. gue tetep ga tau .. SMA dikit banget tahu sooal itu.. di Bangku kuliah gue.. nah tapi sebelumnya gue kasih thu dulu kalu Gue pakai "gue" itu karena terkontaminasi ketoprak yang ada di jakarta.. temen cewek saya waktu itu naksir saya di kampus daerah senen .. karena banyak anak gaul disitu .. karena baru 5 hari di jakarta dan saya tidak mau di katakan Jawir Lu sama dengn Jawa Loe ... heran ga abid s pikir apa di berdiri mereka berdiri di pulau yang berbeda gitu .. Aksen ada yang berbeda kan ..please God help me.. itu gaya saya setelah saya mencoba ........
" Udah Cinta Biar Gue aja yang bayarin ketopraknya .."
langsung deh " sering - seriang aja begini "
kenal lagi Gue dari Tv yang namany Buju Buseeeet
... Kambing gila tuch cewek
So..
Gue bercanda dalam hal yang tidak sewajarnya di bicarakan oleh kalangan bawah seperti gue, bukan karena gue merasa rendah diri engga..tapi kalo bicara tentang politik dan korupsi atau nepotisme yang selalu berpelukan dan bergandengan tangan dengan tubuh ini ... terthan rasanya geli banget gitu.. SD gue ga tahu apa itu KKN atau sebangsanya lah .. atau mungkiin bokap gue sendiri ga ngasih tahu kali ya ..coz may be jaman segitu ga ada kata Koruspi .. Bokap gue yang kolot cuma tahu Ngentit, ngutil, Nilep, nyempitke, ngasak lah ... mungkin podo wae...dari berbagai sudut pandang mungkin tetep aja salah ..begitu SMP.. gue tetep ga tau .. SMA dikit banget tahu sooal itu.. di Bangku kuliah gue.. nah tapi sebelumnya gue kasih thu dulu kalu Gue pakai "gue" itu karena terkontaminasi ketoprak yang ada di jakarta.. temen cewek saya waktu itu naksir saya di kampus daerah senen .. karena banyak anak gaul disitu .. karena baru 5 hari di jakarta dan saya tidak mau di katakan Jawir Lu sama dengn Jawa Loe ... heran ga abid s pikir apa di berdiri mereka berdiri di pulau yang berbeda gitu .. Aksen ada yang berbeda kan ..please God help me.. itu gaya saya setelah saya mencoba ........
" Udah Cinta Biar Gue aja yang bayarin ketopraknya .."
langsung deh " sering - seriang aja begini "
kenal lagi Gue dari Tv yang namany Buju Buseeeet
... Kambing gila tuch cewek
So..
Senin, 03 Oktober 2011
Militer indah kalo ada tekanan dari Pihak Luar
Amerika Serikat Dirikan Pangkalan Militer Dekat Indonesia
June 10, 2011 – 5:26 pmKalo sampe pangkalan militer Amerika didirikan di wilayah ASIA, hal ini akan berimbas juga kepada negara Indonesia. Bisa jadi negara kawasan ASIA akan dijadikan sasaran latihan dengan berbagai dalih, organisasi ASEAN harus bertindak cepat untuk menolak berdirinya Pangkalan Militer Amerika & Ane berharap NKRI menjadi pelopornya! REPUBLIKA.CO.ID, Meski penentangan masyarakat internasional atas kehadiran militer Amerika Serikat di berbagia belahan dunia, termasuk di Asia Tenggara, terus meningkat, namun Washington tetap merencanakan pembangunan pangkalan militernya di Singapura. Sebagaimana dilaporkan IRNA Kamis (10/6), sebuah koran terbitan Cina mengutip pernyataan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Robert Gates bahwa Washington perlu membangun pangkalan di Singapura untuk mendukung kapal-kapal perangnya di kawasan.
Dalam kunjungannya ke Singapura menghadiri konferensi Keamanan Asia yang digelar oleh International Institute for Strategic Studies (IISS), Gates menilai pembangunan pangkalan di Singapura sebagai bagian dari program pengokohan kemampuan militer AS di laut Pasifik. Termasuk dalam program tersebut, Amerika Serikat akan menempatkan sejumlah armada kapal termpur cepat yang khusus untuk operasi di perairan dangkal.
Menurut sumber-sumber Kementerian Pertahanan Singapura, Amerika Serikat berencana mengirim satu atau dua kapal tempur tipe ‘Litoral’ ke Singapura. Kapal tersebut memiliki panjang 400 kaki, dengan kecepatan tinggi, dan cocok untuk misi di perairan dangkal.
Dalam pidatonya pada konferensi di Singapura (4/6), Gates juga menyinggung pentingnya kehadiran militer Amerika Serikat di perairan dekat Australia. Menurutnya, dalam beberapa tahun mendatang, Amerika Serikat akan meningkatkan aktivitasnya di kawasan.
Ia menekankan pula pentingnya kerjasama militer Amerika Serikat dengan Australia dan Singapura. Setiap tahunnya, Amerika Serikat mengeluarkan dana milyaran dolar di sektor militer dan dana tersebut terus meningkat meski negara ini dilanda krisis ekonomi hebat. Sementara di sisi lain, perluasan kehadiran militer Amerika Serikat di berbagai belahan dunia tidak menghasilan apapun kecuali instabilitas.
Nah ....loe pikir sendiri kalo ada kayak gini gan .. kayaknya malah terasa Indah sekali buat Prajurit kita dengan kondisi yang mungkin akan terjadi seperti yang di gambarkan pada tulisan di atas.. akan lebih banyak Dukung untuk TNI Indonesia untuk Prajurit demi mendukung keamanan NKRI ... dalam satu sisi juga akan terasa indah dan membuat Hidup lebih hidup.. ada seni mekanisme atau pun birokrasi yang klasik dalam pendistribusian ..ok loe pikir sendiri gan .. saya kira agan lebih tahu garis besarnya daripada saya.. he he he kalo detailnya... ya ke tanya "kita" dong .....
Dalam kunjungannya ke Singapura menghadiri konferensi Keamanan Asia yang digelar oleh International Institute for Strategic Studies (IISS), Gates menilai pembangunan pangkalan di Singapura sebagai bagian dari program pengokohan kemampuan militer AS di laut Pasifik. Termasuk dalam program tersebut, Amerika Serikat akan menempatkan sejumlah armada kapal termpur cepat yang khusus untuk operasi di perairan dangkal.
Menurut sumber-sumber Kementerian Pertahanan Singapura, Amerika Serikat berencana mengirim satu atau dua kapal tempur tipe ‘Litoral’ ke Singapura. Kapal tersebut memiliki panjang 400 kaki, dengan kecepatan tinggi, dan cocok untuk misi di perairan dangkal.
Dalam pidatonya pada konferensi di Singapura (4/6), Gates juga menyinggung pentingnya kehadiran militer Amerika Serikat di perairan dekat Australia. Menurutnya, dalam beberapa tahun mendatang, Amerika Serikat akan meningkatkan aktivitasnya di kawasan.
Ia menekankan pula pentingnya kerjasama militer Amerika Serikat dengan Australia dan Singapura. Setiap tahunnya, Amerika Serikat mengeluarkan dana milyaran dolar di sektor militer dan dana tersebut terus meningkat meski negara ini dilanda krisis ekonomi hebat. Sementara di sisi lain, perluasan kehadiran militer Amerika Serikat di berbagai belahan dunia tidak menghasilan apapun kecuali instabilitas.
Nah ....loe pikir sendiri kalo ada kayak gini gan .. kayaknya malah terasa Indah sekali buat Prajurit kita dengan kondisi yang mungkin akan terjadi seperti yang di gambarkan pada tulisan di atas.. akan lebih banyak Dukung untuk TNI Indonesia untuk Prajurit demi mendukung keamanan NKRI ... dalam satu sisi juga akan terasa indah dan membuat Hidup lebih hidup.. ada seni mekanisme atau pun birokrasi yang klasik dalam pendistribusian ..ok loe pikir sendiri gan .. saya kira agan lebih tahu garis besarnya daripada saya.. he he he kalo detailnya... ya ke tanya "kita" dong .....
Minggu, 02 Oktober 2011
Perubahan dari Diri Sendiri
Perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada umur negara itu. Contohnya negara India dan Mesir, yang umurnya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain, Singapura, Kanada, Australia, dan New Zealand –- negara-negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun — saat ini merupakan bagian dari negara maju di dunia.
Mayoritas penduduknya tidak lagi miskin.
Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Jepang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya 80% berupa pegunungan dan tidak cukup untuk pertanian dan peternakan. Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya.
Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya yang bisa ditanami. Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia). Swiss juga tidak mempunyai cukup reputasi dalam keamanan, integritas, dan ketertiban –- tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai di dunia.
Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara terbelakang akan sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan. Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju/kaya di Eropa.
Lalu, apa perbedaannya?
Perbedaannya adalah pada sikap/perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk bertahun-tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti/mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut:
Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
Kejujuran dan integritas
Bertanggung jawab
Hormat pada aturan dan hukum masyarakat
Hormat pada hak orang/warga lain
Cinta pada pekerjaan
Berusaha keras untuk menabung dan berinvestasi
Mau bekerja keras
Tepat waktu
Di negara terbelakang/miskin/berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut.
Kita bukan miskin (terbelakang) karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita. Kita terbelakang/lemah/miskin karena perilaku kita yang kurang/tidak baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan kita mampu membangun masyarakat, ekonomi, dan negara.
Jika Anda tidak meneruskan pesan ini, tidak akan terjadi apa-apa pada diri Anda! Hewan peliharaan Anda tidak akan mati. Anda tidak akan kehilangan pekerjaan. Anda tidak akan mendapat kesialan dalam 7 tahun. Anda juga tidak akan sakit.
Tetapi jika Anda mencintai negara kita, teruskan pesan ini kepada teman-teman Anda. Biarlah mereka merefleksikan hal ini. Kita harus mulai dari mana saja. Kita ingin BERUBAH dan BERTINDAK!
Dan… PERUBAHAN DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI!
Penyimpangan positif
Setelah berakhirnya Perang Vietnam, anak-anak di wilayah-wilayah miskin Vietnam sering menderita kekurangan gizi. Penderitaan tersebut selain disebabkan oleh kesulitan ekonomi yang diderita negeri tersebut, juga dikarenakan faktor budaya seperti diharamkannya KB dan rendahnya tingkat pendidikan. Upaya-upaya dari lembaga donor yang berusaha membantu umumnya menggunakan pendekatan umum yang disarankan para ahli: memberikan bantuan makanan besar-besaran sambil berusaha mengatasi faktor-faktor penyebabnya. Tentu saja langkah-langkah tersebut membutuhkan biaya yang besar. Celakanya, cara tersebut membuat penduduk setempat tergantung pada kehadiran para donor. Begitu para donor dan sukarelawan pergi, masalah semula terjadi lagi. Penduduk kembali ke pola hidup semula.
Tahun 1990, lembaga nirlaba Save the Children meminta Monique dan Jerry Sternin mengunjungi Vietnam untuk mencoba pendekatan baru. Mereka mencoba sistem yang disebut dengan positive deviance yang dikembangkan di Tufts University. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang menekankan pada rekomendasi para ahli, Monique dan Jerry terjun ke desa-desa bukan untuk mencari penyebab terjadinya malnutrisi. Sebaliknya mereka mencari anak-anak yang tidak kekurangan gizi meski hidup dalam lingkungan dan taraf hidup yang sama. Anak-anak yang berbeda tersebut adalah para positive deviance, penyimpang positif. Logika dari pendekatan ini adalah mencari alasan mengapa ada sebagian individu yang sukses mengatasi masalah tersebut dan menyebarkan pengetahuan tersebut ke masyarakat setempat.
Segera Monique dan Jerry menemukan bahwa para penyimpang positif tersebut bisa hidup sehat karena ibu mereka memberi mereka tambahan makanan udang dan kepiting dari sungai sekitar dan juga daun kentang manis yang kaya vitamin. Selain itu, mereka juga diberi makanan lebih sering. Berbekal pengetahuan tersebut, Save The Children mengadakan workshop untuk para ibu-ibu setempat lainnya. Para peserta diwajibkan membawa udang, kepiting, dan daun dimaksud.
Hasilnya? Dalam 6 bulan saja, dengan biaya yang jauh lebih kecil, dua per tiga anak-anak di daerah tersebut mengalami kenaikan berat badan. Setelah 2 tahun, 85% sudah dianggap bebas dari kutukan malnutrisi. Konsep ini segera diaplikasikan di desa-desa lainnya dengan sukses. Proyek-proyek positive deviance langsung diluncurkan di negara-negara lainnya, termasuk di Indonesia. (Para pembaca yang tertarik lebih jauh dengan proyek-proyek tersebut bisa membuka situs positivedeviance.org di sini.)
Apa sebenarnya rahasia sukses pendekatan ini? Mengapa pendekatan ini lebih berhasil dibanding pendekatan lainnya, termasuk analisa yang melibatkan banyak ahli? Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah: pendekatan ini selaras dengan prinsip-prinsip complex adaptive system.
Dalam complex adaptive system seperti manusia dan lingkungan hidup, tingkah laku aktor-aktor dalam sistem saling berinteraksi dan hasilnya interaksi sulit untuk diramalkan. Masing-masing aktor juga sering memberikan respon yang berubah-ubah sebagai bagian dari aktivitas adaptasi mereka terhadap interaksi tersebut. Tidak ada ekuilibirium statis di sini. Sementara itu para ahli yang terlalu analitis sering berusaha mereduksi hasil analisa terhadap data-data yang mereka miliki dengan menghilangkan ketidakpastian yang muncul dari pola-pola interaksi yang tidak bisa diramalkan tersebut. Hasil akhirnya adalah solusi-solusi yang hanya bisa bekerja bila sistem tersebut tidak berubah-ubah dan perilaku semua anggota sistem bisa diramalkan. Namun tentu saja kenyataannya tidak demikian.
(Di artikel sebelumnya tentang prinsip obliquity, kita melihat beberapa contoh bagaimana solusi yang dianggap terbaik sering berbuah bencana pada saat diperkenalkan di dalam sebuah complex adaptive system.)
Pendekatan positive deviance lebih menekankan pada belajar dari sistem itu sendiri dengan mencari perilaku tertentu yang sudah sukses dalam sistem kompleks tersebut. Lalu, barulah solusi yang sudah ada tersebut disebarkan ke dalam sistem tersebut. Karena solusi tersebut datang dari sistem itu sendiri, sistem akan lebih toleran terhadap solusi tersebut saat diterapkan pada skala yang lebih luas. Singkatnya, pendekatan positive deviance adalah pendekatan pemecahan masalah yang menekankan pada pembelajaran (learning) dibanding pengajaran (teaching).
Selain masalah sosial, pendekatan ini tentu bisa juga dipakai di lingkungan lainnya, seperti bisnis. Perusahaan yang memiliki cabang-cabang bisa saja mencari cabang dengan kinerja terbaik dan belajar dari cabang tersebut untuk memperbaiki kinerja cabang-cabang lainnya. Para salesman dengan penjualan terbaik bisa diminta untuk membagikan rahasia sukses mereka. Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa diberikan. Yang penting di sini adalah: bukalah diri Anda untuk belajar dari sekitar, termasuk dari anak kecil sekali pun.
Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari
pamong-pamong desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir,
bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para
calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit,
dan detik.
Korupsi menjadi salah satu “sahabat” sehari-hari kita. Korupsi
menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini,
bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan
dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah
langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat
merasa “GR”, tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah
atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsipprinsip
dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di
sel-sel dan jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan
“petunjuk”. Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan
kosakata “petunjuk”–tak lain tak bukan–adalah perbuatan takabur
kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak
boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak
diperlukan persatuan atau pun kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai
korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara,
gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para
nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon
maha indah di leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu
sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran
yang memotong usus nasib berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di
rombongan kloter sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala
orang-orang yang setiap saat dijunjung-junjung sebagai pemimpin–
sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia memang benar-benar
manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung, dipikul
dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan
bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum
wewangian retorika dan excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh
dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi “naluri alamiah” tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak
melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan
pribadi, maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan
bahwa kalau seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak.
Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak
ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan.
Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin.
Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita
mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita.
Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita.
Jangan khawatir, Anda tidak termasuk para koruptor, pada level
mana pun.
Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan
Anda setiap saat.
Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan
kejujuran.
Tuhan tidak Anda “letakkan” di samping, tidak Anda perlakukan
sebagai “pihak ketiga” sehingga Anda sebut “Ia”–dan bukan
“Engkau”.
Tapi pandanglah wajah-wajah kami!
Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah
korupsi di wajah kami.
Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.
Kami-kami yang orang sentral maupun orang perifekal.
Kami-kami orang atas maupun orang bawah.
Kami-kami orang penting maupun orang tak penting.
Kami-kami para pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat.
Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga
demokrasi.
Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini?
Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana
lagi?
Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini: “makhluk” bikinan manusia
yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat dbanding manusia ini?
Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisisisi
penilaian sampai berapa dekade sejarah lagi.
Sudut sistem. Sudut budaya. Sudut antropologi.
Atau segala macam latarbelakang yang sebelah mana lagi yang
akan kita papar-paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi
dan memprihatinkan masalah korupsi–untuk kemudian kita
kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak makin mereda,
membosankan untuk dipersoalkan namun menikmatkan untuk terus
dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Atau bertanya apakah engkau, wahai Emha, sedang marah-marah
oleh berita tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal
korupsi dan korupsi dan korupsi–yang dibeberkan, yang diurus, yang
dibawa ke altar pengadilan–itu sesungguhnya hanya sepersekian
persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi dan
korupsi?
Emha menjawab: Tidak. Ambillah dunia seluruhnya, genggam di
tanganmu, kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan
mulutmu, masukkan padatan itu, telanlah, suruh ia mengembara di
ususmu yang melingkar-lingkar, kemudian aku doakan: duburmu
tidak sobek karena itu.
Ambillah negara ini, tanah ini, tambang ini, aset ini, akses ini, modal
ini, perusahaan ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini-
-apapun saja, ambillah.
Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak
punya urusan pribadi dengan semua itu. Aku tak punya kepentingan
pribadi terhadap itu semua.
Bertengkarlah manusia.
Bersainglah pembesar-pembesar.
Sikut-sikutanlah kakap-kakap.
Sabot-menyabotlah kalian kaum raksasa. Aku tak punya urusan
pribadi dengan itu semua. Caploklah planet bumi ini, kluwungilah
tujuh samudera, rendamlah badanmu di kawah-kawah gunung.
Jaringlah waktu, zaman, kurun. Cengkeramlah kukumu hinga ke
1998, 2003, dan nyanyikan lagu penyair romantik “Aku ingin hidup
seribu tahun lagi!”
Itu semua tak menyedihkanku. Tak membuat diriku prihatin atau
berang. “Aku pribadi” tak punya urusan dengan keserakahan apapun
di sekelilingku. Adapun kalau engkau mendengarkan ada semacam
keprihatinan, kemarahan atau kesedihan–itu tak berasal dari “diri
pribadi”-ku melainkan dari “diri sosial”.
“Diri pribadi”-ku abadi hingga ke Tuhan. “Diri sosial”-ku terbatas:
kalau engkau tiba pada tahap di mana Tuhan mengalungkan
tanganmu sendiri di lehermu, sambil menutup mata, hati, dan
telingamu, serta membuatmu “tak bisa kembali”–maka diri pribadiku
akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh
Tuhan untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan,
segala ketegangan dan penyakit jiwa manusia di muka bumi.
Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya
mencari harta, memeras enerjinya untuk menyabet uang siang dan
malam, serta yang menjual harga kemanusiaannya untuk maling hak
orang lain alias melakukan korupsi–tak ada julukan lain kecuali,
bodoh, tegang, dan sakit jiwa.
Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang
dunia, harta, serta tentang hidup dan mati–mengalami kekeliruan
dan ketidakilmiahan secara mendasar. Ia sangat tegang terhadap
segala yang sudah dimilikinya, yang akan dimilikinya, yang bisa
dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin dimilikinya.
Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya.
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari
pamong-pamong desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir,
bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para
calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit,
dan detik.
Korupsi menjadi salah satu “sahabat” sehari-hari kita. Korupsi
menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini,
bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan
dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah
langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat
merasa “GR”, tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah
atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsipprinsip
dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di
sel-sel dan jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan
“petunjuk”. Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan
kosakata “petunjuk”–tak lain tak bukan–adalah perbuatan takabur
kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak
boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak
diperlukan persatuan atau pun kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai
korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara,
gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para
nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon
maha indah di leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu
sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran
yang memotong usus nasib berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di
rombongan kloter sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala
orang-orang yang setiap saat dijunjung-junjung sebagai pemimpin–
sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia memang benar-benar
manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung, dipikul
dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan
bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum
wewangian retorika dan excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh
dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi “naluri alamiah” tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak
melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan
pribadi, maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan
bahwa kalau seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak.
Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak
ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan.
Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin.
Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita
mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita.
Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita.
Jangan khawatir, Anda tidak termasuk para koruptor, pada level
mana pun.
Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan
Anda setiap saat.
Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan
kejujuran.
Tuhan tidak Anda “letakkan” di samping, tidak Anda perlakukan
sebagai “pihak ketiga” sehingga Anda sebut “Ia”–dan bukan
“Engkau”.
Tapi pandanglah wajah-wajah kami!
Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah
korupsi di wajah kami.
Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.
Kami-kami yang orang sentral maupun orang perifekal.
Kami-kami orang atas maupun orang bawah.
Kami-kami orang penting maupun orang tak penting.
Kami-kami para pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat.
Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga
demokrasi.
Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini?
Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana
lagi?
Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini: “makhluk” bikinan manusia
yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat dbanding manusia ini?
Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisisisi
penilaian sampai berapa dekade sejarah lagi.
Sudut sistem. Sudut budaya. Sudut antropologi.
Atau segala macam latarbelakang yang sebelah mana lagi yang
akan kita papar-paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi
dan memprihatinkan masalah korupsi–untuk kemudian kita
kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak makin mereda,
membosankan untuk dipersoalkan namun menikmatkan untuk terus
dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Atau bertanya apakah engkau, wahai Emha, sedang marah-marah
oleh berita tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal
korupsi dan korupsi dan korupsi–yang dibeberkan, yang diurus, yang
dibawa ke altar pengadilan–itu sesungguhnya hanya sepersekian
persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi dan
korupsi?
Emha menjawab: Tidak. Ambillah dunia seluruhnya, genggam di
tanganmu, kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan
mulutmu, masukkan padatan itu, telanlah, suruh ia mengembara di
ususmu yang melingkar-lingkar, kemudian aku doakan: duburmu
tidak sobek karena itu.
Ambillah negara ini, tanah ini, tambang ini, aset ini, akses ini, modal
ini, perusahaan ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini-
-apapun saja, ambillah.
Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak
punya urusan pribadi dengan semua itu. Aku tak punya kepentingan
pribadi terhadap itu semua.
Bertengkarlah manusia.
Bersainglah pembesar-pembesar.
Sikut-sikutanlah kakap-kakap.
Sabot-menyabotlah kalian kaum raksasa. Aku tak punya urusan
pribadi dengan itu semua. Caploklah planet bumi ini, kluwungilah
tujuh samudera, rendamlah badanmu di kawah-kawah gunung.
Jaringlah waktu, zaman, kurun. Cengkeramlah kukumu hinga ke
1998, 2003, dan nyanyikan lagu penyair romantik “Aku ingin hidup
seribu tahun lagi!”
Itu semua tak menyedihkanku. Tak membuat diriku prihatin atau
berang. “Aku pribadi” tak punya urusan dengan keserakahan apapun
di sekelilingku. Adapun kalau engkau mendengarkan ada semacam
keprihatinan, kemarahan atau kesedihan–itu tak berasal dari “diri
pribadi”-ku melainkan dari “diri sosial”.
“Diri pribadi”-ku abadi hingga ke Tuhan. “Diri sosial”-ku terbatas:
kalau engkau tiba pada tahap di mana Tuhan mengalungkan
tanganmu sendiri di lehermu, sambil menutup mata, hati, dan
telingamu, serta membuatmu “tak bisa kembali”–maka diri pribadiku
akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh
Tuhan untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan,
segala ketegangan dan penyakit jiwa manusia di muka bumi.
Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya
mencari harta, memeras enerjinya untuk menyabet uang siang dan
malam, serta yang menjual harga kemanusiaannya untuk maling hak
orang lain alias melakukan korupsi–tak ada julukan lain kecuali,
bodoh, tegang, dan sakit jiwa.
Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang
dunia, harta, serta tentang hidup dan mati–mengalami kekeliruan
dan ketidakilmiahan secara mendasar. Ia sangat tegang terhadap
segala yang sudah dimilikinya, yang akan dimilikinya, yang bisa
dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin dimilikinya.
Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya.
Langganan:
Komentar (Atom)